Kopi vs Wifi
Kopi vs wifi
Kopi sudah menjadi minuman yang membudaya. Tak peduli mulai kaum elit sampai kaum selilit dalam kehidupannya tak bisa terlepas dari minuman yang satu ini. Sebagaimana manusia sebagai makhluk sosial, tentunya kita juga memiliki moral dan etika serta rasa kenyamanan bila kita berada dengan manusia yang lainnya termasuk dalam hal minum kopi. Adakalanya kopi lebih nikmat disruput ketika sedang bersama, mulai bersama teman-teman , kekasih hingga keluarga. Sangat nikmat memang. Sering kita dengar kalimat "ngopi" dari muda mudi sebagai simbol ajakan untuk cangkruk dan berkumpul bersama meskipun dalam realitanya tak semua memesan kopi, tetapi istilah "ngopi" memang telah bermetamorfosa menjadi simbol ajakan duduk bersama menikmati suasana.
Di era globalisasi seperti saat ini, warung-warung di seluruh pelosok kota sudah tak terhitung jumlahnya. Banyak dari mereka memamerkan kelebihan masing-masing, mulai dari yang mengedepankan cita rasa kopi, berwifi sampai warung dengan wanita yang siap melayani, semua telah tersedia.
Serba ketersediaan ini terkadang mampu mengurangi eksistensi kopi sebagai minuman pemersatu dan nomor satu. Tradisi "ngopi" mulai teralihkan seiring perkembangan zaman. Substansi "ngopi" pada masa lampau sudah beda jauh dengan zaman sekarang. Dahulu, semua orang berkumpul di warung kopi untuk bercerita, membaca koran, bermain gaplek hingga berdiskusi. Bandingkan dengan warung kopi pasca globalisasi, dimana wifi menjadi senjata ampuh meraih pembeli dan wanita untuk meraih dolar dan permata. Sungguh miris memang, harapan mengakulturasikan budaya ngopi justru menjadi asimilasi budaya yang tak terbendung. Banyak kita jumpai warung yang berisi manusia penunduk, menunduk pada benda kotak bodoh yang bercahaya tanpa memiliki rasa peduli pada sesama.
Memang kita tak bisa sepenuhnya menyalahkan wifi, tetapi moral dan etika manusia-lah yang seharusnya berperan. Bagaimana perasaan ketika kita ngopi lalu melihat semua orang yang ada di warung hanya menatap layar bercahaya selama berjam-jam? Dimanakah sifat "sosial" manusia?
Dimanakah tradisi diskusi yang diiringi kopi? Semua hilang terlelan bumi. Seakan-akan kita mulai mencintai wifi ketimbang diri pribadi, atau jangan-jangan kita mulai mentuhankan wifi?.
Sebagai makhluk hidup tentunya kita tau, bagaimana proses kedekatan antar individu makhluk hidup dapat berjalan adalah melalu komunikasi secara langsung, tetapi hal ini tak bisa berjalan 100% apabila melalui aplikasi-aplikasi ciptaan tekhnologi. Ada perbedaan rasa yang tidak seimbang diantara keduanya, ada kemesraan yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata juga ada kehangatan yang merasuk jiwa.
Sebagai manusia, sudah sepantasnya kita berpikir waras. Kemajuan tekhnologi memang tak bisa terhindarkan, tapi tingkat kewarasan masihlah menjadi sandaran. Ketika kita meninggal, tentunya manusia-lah yang akan menguburkannya, kita tak bisa memesan online delivery jenazah atau mudin online untuk mentalqin dan memandikan kita. Ada hal-hal yang tak mampu dilakukan tekhnologi, tetapi hanya manusialah yang mampu melakukannya. karena pada hakikatnya, tekhnologi adalah buah cipta manusia.
Kopi sudah menjadi minuman yang membudaya. Tak peduli mulai kaum elit sampai kaum selilit dalam kehidupannya tak bisa terlepas dari minuman yang satu ini. Sebagaimana manusia sebagai makhluk sosial, tentunya kita juga memiliki moral dan etika serta rasa kenyamanan bila kita berada dengan manusia yang lainnya termasuk dalam hal minum kopi. Adakalanya kopi lebih nikmat disruput ketika sedang bersama, mulai bersama teman-teman , kekasih hingga keluarga. Sangat nikmat memang. Sering kita dengar kalimat "ngopi" dari muda mudi sebagai simbol ajakan untuk cangkruk dan berkumpul bersama meskipun dalam realitanya tak semua memesan kopi, tetapi istilah "ngopi" memang telah bermetamorfosa menjadi simbol ajakan duduk bersama menikmati suasana.
Di era globalisasi seperti saat ini, warung-warung di seluruh pelosok kota sudah tak terhitung jumlahnya. Banyak dari mereka memamerkan kelebihan masing-masing, mulai dari yang mengedepankan cita rasa kopi, berwifi sampai warung dengan wanita yang siap melayani, semua telah tersedia.
Serba ketersediaan ini terkadang mampu mengurangi eksistensi kopi sebagai minuman pemersatu dan nomor satu. Tradisi "ngopi" mulai teralihkan seiring perkembangan zaman. Substansi "ngopi" pada masa lampau sudah beda jauh dengan zaman sekarang. Dahulu, semua orang berkumpul di warung kopi untuk bercerita, membaca koran, bermain gaplek hingga berdiskusi. Bandingkan dengan warung kopi pasca globalisasi, dimana wifi menjadi senjata ampuh meraih pembeli dan wanita untuk meraih dolar dan permata. Sungguh miris memang, harapan mengakulturasikan budaya ngopi justru menjadi asimilasi budaya yang tak terbendung. Banyak kita jumpai warung yang berisi manusia penunduk, menunduk pada benda kotak bodoh yang bercahaya tanpa memiliki rasa peduli pada sesama.
Memang kita tak bisa sepenuhnya menyalahkan wifi, tetapi moral dan etika manusia-lah yang seharusnya berperan. Bagaimana perasaan ketika kita ngopi lalu melihat semua orang yang ada di warung hanya menatap layar bercahaya selama berjam-jam? Dimanakah sifat "sosial" manusia?
Dimanakah tradisi diskusi yang diiringi kopi? Semua hilang terlelan bumi. Seakan-akan kita mulai mencintai wifi ketimbang diri pribadi, atau jangan-jangan kita mulai mentuhankan wifi?.
Sebagai makhluk hidup tentunya kita tau, bagaimana proses kedekatan antar individu makhluk hidup dapat berjalan adalah melalu komunikasi secara langsung, tetapi hal ini tak bisa berjalan 100% apabila melalui aplikasi-aplikasi ciptaan tekhnologi. Ada perbedaan rasa yang tidak seimbang diantara keduanya, ada kemesraan yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata juga ada kehangatan yang merasuk jiwa.
Sebagai manusia, sudah sepantasnya kita berpikir waras. Kemajuan tekhnologi memang tak bisa terhindarkan, tapi tingkat kewarasan masihlah menjadi sandaran. Ketika kita meninggal, tentunya manusia-lah yang akan menguburkannya, kita tak bisa memesan online delivery jenazah atau mudin online untuk mentalqin dan memandikan kita. Ada hal-hal yang tak mampu dilakukan tekhnologi, tetapi hanya manusialah yang mampu melakukannya. karena pada hakikatnya, tekhnologi adalah buah cipta manusia.
Komentar
Posting Komentar