Bangsa muda dengan mental tua
Bangsa muda yang harus menua
Sudah 72 tahun bangsa ini terbebas dari kolonialisme dan imperialisme. Gegap gempita menyambut disetiap perayaannya dari tahun ke tahun. Sebagai masyarakat, kadang kita berfikir bahwa bangsa ini sudah memiliki usia yg senja dan sudah saatnya untuk bersahaja. namun, apalah daya. Masih banyak dari masyarakat kita yg berpola pikir primitif dalam hal menguatkan ikrar pancasila. Sangat disayangkan memang, negara yg telah merdeka 72 tahun lamanya, terbebas dari kolonialisme dan imperialisme namun masih saja terjebak dalam nepotisme. Celakanya, hal ini justru tidak hanya terjadi dalam masyarakat kelas bawah saja, bahkan para birokrat2 yg mengatur birokrasi bangsa ini juga terseret ke dalam arus yang sama. Tentu hal ini sangat mengkawatirkan ideologi bangsa ini sendiri, di saat persatuan indonesia menjadi salahsatu sila penyokong namun dalam implementasi masih seperti bokong. Apabila kau dekat denganku maka kau akan mudah untuk memilih kursi dan mengambilnya. Kata-kata ini tak ayal hanya akan menimbulkan rasa iri di sisi pihak dan memunculkan pertikaian yg semestinya tak terjadi.
Salahsatu solusi yang tepat untuk mengatasinya adalah dengan menghilangkan stigma primitif macam itu terhadap pemuda. Mengapa harus pemuda? Bukankah para penguasa adalah orang2 tua? Jawabannya ada pada masa depan. Di satu sisi, pemuda adalah para penerus bangsa. Mirisnya, di era digitalisasi ini justru penerus bangsa dengan mudah di adu domba hanya melalui media. Sering kita dengar gejolak antar suporter, antar organisasi pemuda antar suku dsb. Semua hanya dilatari hal yg sama, yakni perbedaan pendapat yg sebenarnya tak dapat dihindari. Seharusnya asas pluralisme menjadi hal yg harus ditekankan pada anak bangsa agar lebih mengerti makna bersama. Maka, dengan ini rasa fanatisme dan primodialisme bisa berkurang setidaknya untuk mensejajarkan derajat agar bisa bersatu padu untuk sang ibu, ibu pertiwi. Di sisi lain, para birokrat yg sudah tua seakan sudah tertutup nuraninya akan kekuasaan dan jabatan. Mereka sudah tak peduli lagi atas aksi2 yg mereka lakukan meski itu mampu memecah belah kesatuan. Sulit untuk merubah orang yg telah tertutup nuraninya, meski tak semua birokrat memiliki watak yg sama.
Apakah layak bila kita terus menerus tergerus dalam pemikiran yg sama? Kapan kita hendak berubah? , Masa depan bangsa ada di tangan pemuda. Bila pemuda berhenti berkarya dan tetap mengedepankan egoisme semata maka yg terjadi adalah kehancuran semata. Bukan hanya negara tp juga bangsa.
Sudah 72 tahun bangsa ini terbebas dari kolonialisme dan imperialisme. Gegap gempita menyambut disetiap perayaannya dari tahun ke tahun. Sebagai masyarakat, kadang kita berfikir bahwa bangsa ini sudah memiliki usia yg senja dan sudah saatnya untuk bersahaja. namun, apalah daya. Masih banyak dari masyarakat kita yg berpola pikir primitif dalam hal menguatkan ikrar pancasila. Sangat disayangkan memang, negara yg telah merdeka 72 tahun lamanya, terbebas dari kolonialisme dan imperialisme namun masih saja terjebak dalam nepotisme. Celakanya, hal ini justru tidak hanya terjadi dalam masyarakat kelas bawah saja, bahkan para birokrat2 yg mengatur birokrasi bangsa ini juga terseret ke dalam arus yang sama. Tentu hal ini sangat mengkawatirkan ideologi bangsa ini sendiri, di saat persatuan indonesia menjadi salahsatu sila penyokong namun dalam implementasi masih seperti bokong. Apabila kau dekat denganku maka kau akan mudah untuk memilih kursi dan mengambilnya. Kata-kata ini tak ayal hanya akan menimbulkan rasa iri di sisi pihak dan memunculkan pertikaian yg semestinya tak terjadi.
Salahsatu solusi yang tepat untuk mengatasinya adalah dengan menghilangkan stigma primitif macam itu terhadap pemuda. Mengapa harus pemuda? Bukankah para penguasa adalah orang2 tua? Jawabannya ada pada masa depan. Di satu sisi, pemuda adalah para penerus bangsa. Mirisnya, di era digitalisasi ini justru penerus bangsa dengan mudah di adu domba hanya melalui media. Sering kita dengar gejolak antar suporter, antar organisasi pemuda antar suku dsb. Semua hanya dilatari hal yg sama, yakni perbedaan pendapat yg sebenarnya tak dapat dihindari. Seharusnya asas pluralisme menjadi hal yg harus ditekankan pada anak bangsa agar lebih mengerti makna bersama. Maka, dengan ini rasa fanatisme dan primodialisme bisa berkurang setidaknya untuk mensejajarkan derajat agar bisa bersatu padu untuk sang ibu, ibu pertiwi. Di sisi lain, para birokrat yg sudah tua seakan sudah tertutup nuraninya akan kekuasaan dan jabatan. Mereka sudah tak peduli lagi atas aksi2 yg mereka lakukan meski itu mampu memecah belah kesatuan. Sulit untuk merubah orang yg telah tertutup nuraninya, meski tak semua birokrat memiliki watak yg sama.
Apakah layak bila kita terus menerus tergerus dalam pemikiran yg sama? Kapan kita hendak berubah? , Masa depan bangsa ada di tangan pemuda. Bila pemuda berhenti berkarya dan tetap mengedepankan egoisme semata maka yg terjadi adalah kehancuran semata. Bukan hanya negara tp juga bangsa.
Komentar
Posting Komentar