Pengertian Hak Asuh Anak dalam islam "Hadhanah"



HADANAH (HAK ASUH ANAK) DALAM ISLAM
        TEKHNIK PENULISAN KARYA TULIS ILMIAH
                         Dosen Pengampu : Mahmud Huda, M.S.I


 
                            Unipdu.png

            Disusun Oleh :
              Abdurrahman Aufa  (1116100)

                                    PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
                                      FAKULTAS AGAMA ISLAM
       UNIVERSITAS PESANTREN TINGGI DARUL ULUM JOMBANG
                                                          2016
PENDAHULUAN :
     Manusia dalam kehidupan ini mengalami proses pertumbuhan. Permulaan dari air yang dibandingkan dengan yang lain tidak ada artinya, kemudian menjadi emberio, segumpal darah, janin sehingga akhirnya kita terlahir di dunia ini dalam keadaan selamat. Setelah proses tersebut, perjalanan manusia baru akan dimulai dan melanjutkan proses tersebut sampai akhirnya kita bisa beradaptasi dengan sesama manusia yang lain. Anak merupakan salahsatu hasil dari pernikahan. Permikahan yang kurang harmonis biasanya menimbulkan konflik berkepanjangan, akibat dari konflik ini berujung kepada perpisahan dari ikatan “mitsaqan ghalidhan” sebuah perkawinan yang suci atau sakral serta sebuah ibadah.[1]
Melihat perkembangan sekarang banyak manusia yang melantarkan anak di tengah jalan, Disebabkan karena faktor ekonomi. Sehingga dia tidak mendapat kasih sayang kepada kedua orang tuanya serta mereka bingung akan kemana mereka untuk masa kedepannya bahkan yang lebih parah lagi adalah kepada siapa yang akan mengasuh mereka. Oleh karena itu, dibutuhkan sebuah lembaga yang dapat mengayomi mereka agar mendapatkan kehidupan yang layak seperti manusia biasanya.
Sehingga dalam hal tersebut penting bagi kita untuk mengetahui seputar hadhanah serta hal-hal yang berkaitan dengan perkara tersebut.
1.     Rumusan Masalah
a)      Apa pengertian hadhanah ?
b)      Siapa yang berhak pengasuan anak tersebut ?
c)      Siapa orang yang paling berhak mengasuh anak?
d)      Apa syarat-syarat mengasuh anak ?
e)      Bagaimana batas akhir mengasuh anak ?
              
                 



 HADHANAH :
         
A.Pengertian Hadanah
Kata “hadhanah” merupakan istilah yang di ambil dari bahasa Arab, dari kata “hadhana”.[2] Menurut bahasa memiliki arti “meletakkan sesuatu dekat tulang rusuk atau di pangkuan”. Arti ini mengandung makna bahwa seorang ibu diwaktu menyusui meletakkan anak itu dipangkuannya, seakan-akan melindungi dan memelihara anaknya. Dalam istilah fikih juga dikenal dengan istilah kaffalah, yang memiliki arti yang sama dengan kata hadhanah, yaitu “pemeliharaan” atau “pengasuhan”.[3] Sedangkan menurut istilah, hadhanah memiliki defenisi sebagai berikut. Menurut pakar ulama fikih mendefenisikan hadhanah yaitu melakukan pemeliharaan anak-anak yang masih kecil, baik laki-laki maupun perempuan atau sudah besar tetapi belum mumayyiz, menyediakan sesuatu untuk melengkapinya (demi kebaikannya), mendidik serta menjaga dari sesuatu yang bisa menyakitinya, baik rohani, jasmani maupun akalnya, agar mampu berdiri sendiri menghadapi hidup dan bertanggung jawab.

Kata hadanah ialah suatu ungkapan untuk menyatakan pelaksanaan mengasuh anak yang masih tidak dapat membedakan antara yang bermanfaat dan yang tidak bermanfaat (tamyiz), dan tidak dapat mengatur dirinya sendiri dan mengasuhnya sesuai dengan apa yang mendatangkan manfaat bagi dirinya dan menjauhi mudharat daripadanya. Hadhanah ialah semacam wilayah (kekuasaan), meski pada dasarnya lebih layak pada kaum wanita karena mereka memang lebih menaruh kasih sayang kepada anak itu. Dan biaya atas pengasuhan anak itu dibebankan kepada ayahnya karena biaya mengasuh anak sama dengan nafkah yang harus dikeluarkannya dengan cukup.[4]

B. Siapa yang berhak mendapatkan pengasuhan anak tersebut?
Dalam menentukan siapa yang lebih berhak dalam mengasuh anaknya. Ibu lebih berhak mendapatkan hak asuh anak  daripada bapaknya daripada wanita-wanita lainnya dengan syarat-syarat yang akan disebutkan nantinya. Dalam mendahulukan si ibu terlebih dahulu, pandangan ini didasari atas hadist :
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم جائثه امرأة فقالث : يا وسول الله ان ابني هذا كان بطني له وعاء وثدني له ثقاء وحجري له حواء وإن أباه طلقني وأراد أن نزعه مني فقالا لها ررسول الله  صلى الله عليه وسلم : أنت أحق به ما لم تنكحى   
                                                                         ( رواه داود والحاكم)                                          

“Bahwa Rasulullah SAW, pernah didatangi oleh seorang perempuan ia berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya anak saya ini dahulu berada dalam kandungan saya, dan susu saya sebagai minumannya, serta pangkuan saya menjadi tempat ia mencari kash saying. Ayahnya telah mentalak saya dan sekarang ia ( ayahnya) ingin merebut anak ini dari saya. Rasulullah bersabda kepada perempuan itu: “Engkau lebih berhak daripada ayah anak itu selama engkau belum menikah lagi.”[5]
Kemudian ditentukan bahwa si anak itu dipasrahkan kepada ibu dan bukan kepada bapak, apabila anak itu masih kecil dan belum mengerti kepentingan dirinya. Kalau sudah mengerti ia boleh diberi pilhan ibu atau bapak, kemudian dia boleh mengikuti salahsatu diantaranya. Ketentuan tersebut berlaku baik anak itu laki-laki atau perempuan.[6]
Menurut imam Syafi’i, jika seorang anak laki-laki telah mencapai baligh dalam usia delapan tahun (mumaiyyiz), maka dia diberi kesempatan untuk memilih diantara kedua orang tuanya. Sebab pada usia itulah anak pada umumnya telah mulai pintar karena telah bergerak keinginannya untuk belajar Al-Quran, sopan santun dan kewajiban-kewajiban ibadah lainnya. Dalam hal ini tidak ada bedanya antara perempuan dan laki-laki.[7]
C. Siapa yang paling berhak mengasuh anak ?
Ibu, adalah yang paling berhak menggenggam hak asuh anak dibandingkan pihak-pihak lainnya. Al Imam Muwaffaquddin Ibnu Qudamah mengatakan, jika suami isteri mengalami perceraian dengan meninggalkan seorang anak (anak yang masih kecil atau anak cacat), maka ibunyalah yang paling berhak menerima hak hadhonah (mengasuh) daripada orang lain. Kami tidak mengetahui adanya seorang ulama yang berbeda pendapat dalam masalah ini.
     Diutamakan ibu dalam mengasuh anak, lantaran ia orang yang paling terlihat sayang dan paling dekat dengannya. Tidak ada yang menyamai kedekatan dengan si anak selain bapaknya. Adapun tentang kasih-sayang, tidak ada seorang pun yang mempunyai tingkatan seperti ibunya. Suami (ayahnya) tidak boleh mencoba menanganinya sendiri, akan tetapi perlu menyerahkannya kepada ibunya (isterinya). Begitu pula ibu kandung sang isteri, ia lebih berhak dibandingkan isteri ayahnya (suaminya). [8]
Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhu membuat satu ungkapan yang indah:
“Aromanya, kasurnya dan pangkuannya lebih baik daripada engkau, sampai ia menginjak remaja dan telah memilih keputusannya sendiri (untuk mengikuti ayah atau ibunya)”.
     Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mempunyai alasan, mengapa ibu lebih berhak dalam mengasuh anaknya, dikarenakan ibu lebih baik daripada ayah si anak. Sebab, jalinan ikatan dengan si anak sangat kuat dan lebih mengetahui kebutuhan makanan bagi anak, cara menggendong, menidurkan dan mengasuh. Dia lebih pengalaman dan lebih sayang. Dalam konteks ini, ia lebih mampu, lebih tahu dan lebih tahan mental. Sehingga dialah orang yang mesti mengasuh seorang anak yang belum memasuki usia tamyiz berdasarkan syari’at.[9]
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr, bahwasanya ada seorang wanita pernah mendatangi Rasulullah mengadukan masalahnya. Wanita itu berkata:
يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ ابْنِي هَذَا كَانَ بَطْنِي لَهُ وِعَاءً وَثَدْيِي لَهُ سِقَاءً وَحِجْرِي لَهُ حِوَاءًوَإِنَّ أَبَاهُ طَلَّقَنِي وَأَرَادَ أَنْ يَنْتَزِعَهُ مِنِّي
“Wahai Rasulullah. Anakku ini dahulu, akulah yang mengandungnya. Akulah yang menyusui dan memangkunya. Dan sesungguhnya ayahnya telah menceraikan aku dan ingin mengambilnya dariku”.
Mendengar pengaduan wanita itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menjawab:                                                                                                                                                                               
                                                                 أَنْتِ أَحَقُّ بِهِ مَا لَمْ تَنْكِحِي
 “Engkau lebih berhak mengasuhnya selama engkau belum menikah”.[10]
     Hadits ini menunjukkan, bahwa seorang ibu paling berhak mengasuh anaknya ketika ia diceraikan oleh suaminya (ayah si anak) dan menginginkan merebut hak asuhnya. Hal ini haruslah disikapi dengan lebih bijksana, karena dalam perkembangannya, seorang anak terutama yang belum tamyiz sangatlah membutuhkan kasih sayang dari seorang ibu.
            Ketahuilah, bahwa hukum ibu dari ibu (nenek) dengan bapa atau kakek adalah sama dengan hukum ibu, dan apabila beberapa orang berebut hak asuh anak tersebut maka ibu didahulukan, kemudian ibu-ibunya, diutamakan antara yang terdekat, dan yang lebih terdekat lagi, kemudian ibu dari ayah, kemudian ibu dari ibu ayah, kemudian ibu dari kakek, kemudian ibu dari ibu kakek, dan menyusul ibu dari ayah, yaitu saudara perempuan seibu sebapak, kemudian saudara sebapak, kemudian saudara seibu, kemudian bibi. Inilah qaul azhar.[11]

D.    Syarat – Syarat Bagi yang melakukan Hadhanah.

Untuk kepentingan anak dan pemeliharaannya diperlukan beberapa syarat bagi yang melakukan hadhanah , sebgai berikut :
1.      Balig berakal[12] , tidak terganggu ingatan , sebab hadhanah itu merupakan pekerjaan yang penuh tanggung jawab.
2.      Mempunyai kemampuan dan kemauan untuk memelihara dan mendidik mahdun ( anak yang diasuh) dan tidak terikat dengan suatu pekerjaan yang bisa mengakibatkan tugas hadhanah menjadi terlantar.
3.      Seorang yang melakukan hadhanah harus beragama islam seorang nonmuslim tidak berhak dan tidak boleh ditunjuk sebagai pengasuh. Karena dikhawatirkan akan membawa sang anak terjerumus ke lembah kesesatan.
4.      Jika yang melakukan hadhanah adalah ibu kandung dari anak yang akan diasuh , disyaratkan tidak kawin lagi. Adanya persyaratan tersebut adalah kekhawatiran suami kedua tidak merelakan istrinya disibukkan mengurus anaknya dari suami pertama. Tetapi jika suami kedua rela menerima anak tersebut , maka hak hadhanah tidak akan gugur.
5.   Merdeka, dengan demikian perempuan hamba sahaya tidak diperkenankan melaksanakan hadhanah. Sebab, manfaat dari wanita ini lebih dikhususkan kepada tuannya, oleh sebab itu hamba sahaya tidak boleh disibukkan dengan hak pengasuhan anak. Karena mengasuh ibarat kekuasaan, sedangkan hamba sahaya tidak memiliki kekuasaan.[13]
6. Dapat menjaga Kehormatan diri dan dapat dipercayai, dengan demikian ibu yang fasik tidak dapat mengasuh anak karena karena juga dikhawatirkan dapat menjerumuskan sang anak ke lembah kesesatan
7.  Tinggal menetap. Ibu adalah yang paling berhak mengasuh anak dan menetap pada suatu negri, apabila sang ibu dalam perjalanan kita lihat dulu untuk rangka apa perjalananya. Apabila perjalanannya dalam rangka pergi haji tentunya sang ibu tidak diperkenankan membawa sang anak dan perjalanan dagang. Maka, sang anak tetap tinggal bersama orang yang tidak pergi sampai sang ibu kembali lagi. Baik perjalanan panjang ataupun pendek.[14]

E. Bagaimana batas akhir mengasuh anak?
       Tidak ada keterangan yang jelas dari Al-Quran dan Hadits yang menerangkan tentang masa hadhanah, hanya ada isyarat yang menerangkan ayat tersebut. Karena itu para ulama berijtihad sendiri dalam menetapkan batas waktu dalam pemeliharaan anak. Adapun pendapat tentang batas waktu hadhanah yang ditentukan oleh Imam Mazhab sbb:
a.    Menurut imam Hanafi, batas hadhanah bagi anak laki-laki adalah hingga ia bisa mengurus dirinya sendiri, dalam arti anak tersebut sudah mampu makan, minum, mengatur pakaian dsb. Sedangkan masa hadhanah bagi anak perempuan adalah apabila telah baligh, atau telah datang masa haid pertamanya. Sehingga kalau dihitung dengan jumlah tahun menurut imam Hanafi yaitu, bagi anak laki-laki berumur 19 tahun dan bagi anak perempuan berumur 11 tahun.
b.    Menurut imam Syafi’i batas minimal berakhirnya hadhanah yaitu jika anak sudah mumaiyiz, baik anak laki-laki maupun perempuan, sehingga bila diperkirakan dengan hitungan tahun yaitu antara 5 dan 6 tahun.
c.    Menurut Abdul Azzim bahwa batas mumaiyiz seorang anak untuk dapat menentukan pilihannya adalah 7 tahun, sehingga waktu pengasuhan anak ditetapkan selama 7 tahun.[15]



PENUTUP:
            Dari penjelasan di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan bahwa anak merupakan amanah yang diberikah Allah kepada hambanya, dimana amanah tersebut harus dijaga dengan sebaik-baiknya, baik kondisi fisik anak maupun psikisnya. Hal ini sangat menetukan perkembangan yang mapan terhadap anak dikemudian hari.

Mengenai penjelasan tentang hadhanah telah dijelaskan secara umum, bahwa hadhanah adalah .[16] Menurut bahasa memiliki arti “meletakkan sesuatu dekat tulang rusuk atau di pangkuan”. Arti ini mengandung makna bahwa seorang ibu diwaktu menyusui meletakkan anak itu dipangkuannya, seakan-akan melindungi dan memelihara anaknya. Dalam istilah fikih juga dikenal dengan istilah kaffalah, yang memiliki arti yang sama dengan kata hadhanah, yaitu “pemeliharaan” atau “pengasuhan”. Mengenai penjelasan hukum-hukum serta peraturan-peraturan yang ada pada hadhanah, sudah dijelaskan di atas dengan berbagai pertimbangan dan refrensi dari beberapa buku. Adapun urutan pengasuh secara singkat dapat dijelaskan bahwa hak asuh secara berurut jatuh kepada ibu, nenek dari pihak ibu hingga keatas, ayah, nenek dari ayah hingga ke atas, kemudian sudara-sudara ibu maupun seayah dengan syarat betul-betul bertanggung jawab terhadap pemeliharaan anak tersebut, baik menjaga, merawat, mendidik, menyayangi dll.

Semoga dengan selesainya makalah ini dapat menjadi motivasi dan semangat untuk para orang tua agar selalu menyayangi dan mengasihi serta menjaga dan mendidik dengan rasa penuh tanggung jawab agar anaknya menjadi generasi sholeh dan sholehah, berbakti kepada kedua orang tua serta nusa dan bangsa. AMIN



DAFTAR PUSTAKA :

Syaikh Hasan Aiyub, Fikih Keluarga, penerjemah: M. Abdul Ghoffar, (Jakarta:
                                  Pustaka Al-Kautsar, 2005), cet. 4, hal. 390

Prof. Dr. Amir Syarifuddin, hukum perkawinan islam di indonesia, antara fiqh
                                            munakahat dan perundang-undangan, (Jakarta:
                                            Kencana, 2011), cet. 1, hal. 327


 Kifayatul Akhyar , Bab Hadanah , bag.2 hal. 310

Al lu’lu wal marjan , HR. Abu Dawud dan Al-Hakim

Satria Effendi. Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, ( Prenada
                       Media, Jakarta:2004 ), hlm 170

M. Ali Hasan, pedoman hidup berumah tangga dalam islam, (Jakarta: Prenada
                      Media, 2003), hal.195



Syaikh Hasan Aiyub, Fikih Keluarga, penerjemah: M. Abdul Ghoffar, (Jakarta:
                                  Pustaka Al-Kautsar, 2005), cet. 4, hal. 390


[1]  Kompilasi Hukum Islam bab II pasal 2 dan 3
[2]  Syaikh Hasan Aiyub, Fikih Keluarga, penerjemah: M. Abdul Ghoffar, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005), cet. 4, hal. 390
[3] Prof. Dr. Amir Syarifuddin, hukum perkawinan islam di indonesia, antara fiqh munakahat dan perundang-undangan, (Jakarta: Kencana, 2011), cet. 1, hal. 327
[4]  Kifayatul Akhyar , Bab Hadanah , bag.2 hal. 310
[5]  Al lu’lu wal marjan , HR. Abu Dawud dan Al-Hakim
[6]  Kifayatul Akhyar bag.2 Bab Hadanah hal. 311
[7]  Syaikh Hasan Aiyub,.. hal. 391
[8]  Kifayatul Ahyar bab Hadanah  (Surabaya: Bina Iman 1993)
[9] Majmu’ al Fatawa (17/216-218).
[10]  HR Ahmad (2/182), Abu Dawud (2276) dan al Hakim (2/247). Syaikh al Albani menilainya sebagai hadits hasan.

[11]  Kifayatul Ahyar bab Hadanah  hal. 312 (Surabaya: Bina Iman 1993)
[12]  Satria Effendi. Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, ( Prenada Media,       
    Jakarta:2004 ), hlm 170
[13]  Kifayatul Ahyar bab Hadanah  hal. 313 (Surabaya: Bina Iman 1993)
[14]  Khifayatul Akhyar bab Hadanah hal. 314
[15]  M. Ali Hasan, pedoman hidup berumah tangga dalam islam, (Jakarta: Prenada Media, 2003), hal.195
[16]  Syaikh Hasan Aiyub, Fikih Keluarga, penerjemah: M. Abdul Ghoffar, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005), cet. 4, hal. 390

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pengertian Filsafat ilmu dan filsafat dasar menurut para ahli

5 LANGKAH JITU YANG HARUS DIAMBIL JOMBLO UNTUK SUKSES