Sejarah Jepang di masa lalu
NEGERI MATAHARI TERBIT YANG HAMPIR TENGGELAM
Sabtu, 1 September 2018
Oleh : Ahlul Qohwa Waljama'ah
Pasca perang dunia kedua, Jepang
telah mengalami kehancuran yang cukup destruktif baik dalam segi infrastruktur,
ekonomi, tatanan sosial hingga pemerintahan. Bahkan jauh sebelum itu, pada abad
ke-18 Jepang sempat mengalami 'ketertinggalan' dari bangsa-bangsa Eropa. Perang
Dunia kedua memang menjadi ajang unjuk gigi sekaligus rontoknya gigi Jepang.
Pada awal perang, Jepang mengalami masa kejayaan di bidang teknologi, militer
serta ekonomi. Pada saat itu pula Jepang memiliki setidaknya 10 kapal induk,
ribuan pesawat terbang serta ratusan kapal kelas frigat. Selain itu, Jepang
juga sudah mampu menciptakan beberapa perangkat elektronik. Sayangnya, kejayaan
Jepang ini tidak diiringi dengan sifat rendah hati dan manusiawi, Jepang justru
memiliki ambisi terselubung untuk menguasai dunia terutama Asia. Jepang justru
terkesan konyol dengan mengandalkan 'Harakiri' dan 'Kamikaze' sebagai wujud
penghormatan kepada kaisar yang mereka anggap sebagai keturunan dewi Amaterasu,
Dewi matahari. Dibawah kepemimpinan Kaisar Hirohito dan Perdana mentri
Hidetoki Tojo, Jepang berhasil menguasai Asia Timur hingga Asia Tenggara bahkan
sempat menghancurkan Pangkalan Militer Amerika Serikat, Pearl Harbour. Namun,
inilah awal kesalahan Jepang, bersekutu dengan rezim fasis Nazi dan Mussolini
bukanlah hal yang menguntungkan terlebih setelah konferensi Yalta yang membuat
negara dengan luas wilayah daratan terluas Dunia (Uni Soviet), negara dengan
ekonomi terkuat (Amerika Serikat) dan Negara dengan sejarah militer terhebat
(Britania Raya) bersatu untuk menjadi musuh.
I
nilah awal kehancuran
Jepang dimulai dari kembali terebutnya Asia Tenggara hingga Asia Timur.
Puncaknya, yakni diledakkannya bom atom pertama (dan semoga yang terakhir
kalinya) di 2 kota utama mereka, Hiroshima dan Nagasaki. Hal ini memaksa
Hirohito menyerah tanpa syarat pada Sekutu.
Pasca Perang, Jepang benar-benar
luluh lantak, perekonomian yang amburadul, cadangan pangan yang menipis serta
hancurnya infrastruktur membuat mereka semakin menderita. Tapi, apakah mereka
menyerah? Tidak! Dikisahkan bahwa pasca perang, penduduk Jepang berusaha
menanam apapun dicelah-celah reruntuhan bangunan demi memenuhi kebutuhan makan
mereka. Mereka juga diharuskan menerima persyaratan penyerahan pada sekutu
yakni 'tidak menganggap kaisar sebagai keturunan dewa lagi. Padahal, itu sudah
menjadi kepercayaan masyarakat Jepang selama lebih dari 2.000 tahun. Seiring
dengan berjalannya waktu, lambat laun mereka berhasil bangkit. Angka kelahiran
meningkat, jumlah investasi meningkat serta perkembangan teknologi mulai tumbuh
secara bertahap. Etos kerja orang Jepang berhasil mengantarkan mereka sebagai
salah satu negara yang 'paling cepat bangkit' pasca Perang Dunia ke-2.
Pada akhir abad ke-20,
Jepang berhasil mengembalikan masa kejayaannya setidaknya pada bidang teknologi
dan ekonomi. Berbagai produk teknologinya berhasil merambah pasar global
seperti televisi, sarana transportasi hingga industri. Pada tahun 2018, Jepang
berhasil menjadi negara dengan PDB tertinggi ke-3 di dunia setelah AS dan China
dengan $. 4.940 Milliyar, jumlah ini 5 kali lebih banyak dari PDB negara kita,
Indonesia.
Tiada gading yang tak
retak. Yap, tiada sesuatu yang sempurna termasuk sebuah negara. Sehebat apapun
negara tersebut pasti memiliki problem baik internal maupun eksternal. Problem
yang dihadapi Jepang saat ini adalah penurunan jumlah penduduk. Padahal,
penduduk merupakan instrumen paling penting dalam sebuah bangsa. Sebuah bangsa
tak bisa disebut sebagai negara tanpa rakyat, begitupun dengan jantung
perekonomiannya yang takkan bisa bergerak tanpa keberadaan rakyat. Berdasarkan
data pencatatan sipil Jepang per 1 Januari 2017, jumlah populasi Jepang
tercatat 123.583.658 jiwa. Jumlah tersebut turun sebesar 308.084 dari tahun
sebelumnya dan merupakan penurunan populasi berturut-turut selama delapan tahun
terakhir. Data menarik lainnya adalah sebanyak 1,30 juta warga Jepang wafat
sepanjang tahun 2016, sementara angka kelahiran warganya lebih rendah. Tahun
ini, jumlah kelahiran turun 2,9 persen dari tahun sebelumnya yakni sebesar
981.202 kelahiran. Jumlah ini mencapai titik terendahnya sejak tahun 1974. Data
lainnya menunjukkan bahwa orang tua yang berusia 65 tahun ke atas ada sebanyak
27,2 persen dari total populasi Jepang. Ini merupakan rasio tertinggi dalam
pencatatan sipil. Sementara persentase pemuda yang berusia 14 kebawah mencetak
rekor terendah yaitu 12,7 persen.
Menindaklanjuti realita
demikian, Perdana Mentri Jepang, Shinzo Abe mengambil kebijakan lebih longgar
dalam hal migrasi. Warga negara asing diperbolehkan bekerja di Jepang, bahkan
subsidi juga diperuntukkan bagi ibu yang mau mengandung. Anda berminat menjadi
penduduk Jepang?
"Sejatinya di Dunia
ini tidak ada yang sempurna, semua ada kelebihan dan kekurangan. Maka, sangat
tak bijak sekali bila kita menghina kekurangan seseorang. Alangkah baiknya bila
kita saling menutupi kekurangan."
Komentar
Posting Komentar